6
Sinar matahari mengintip dari jendela kamar, menelusup ke celah mataku yang masih tertutup untuk terbuka, segera kuambil jam wekker di meja kecil persis di samping kasurku dengan mata masih tertutup. Pelan kubuka mataku, masih kabur, tetapi aku tahu pasti jarum pendek di jam wekker itu menunjuk ke arah angka 7.
“WOOOOAAAAH!!! MAMAAAAAAAAA AKU KESIANGAN!” teriakku seketika.
Mama dengan santai menjawab, “Tadi mama bangunin kok, tapi kamunya ga bangun- bangun. Oh ya, air untuk mandinya sudah siap.”
Berlari menuju kamar mandi yang terasa sangat jauh. Setelah selesai membersihkan tubuhku, segera kusongsong bau sedap dari dapur mama.
“MAAAMAAA.......” teriakku, sedikit memelas.
Tanpa harus kujelaskan lagi, mama mengambil gelas besar berisi susu. Segera kuminum sarapanku itu.
“Ma... aku pergi du,” perkataanku terpotong oleh sikat gigi yang disodorkan oleh mama, “Heehee... makasi, Ma.”
Kuselesaikan dengan cepat ritual kebersihan gigi itu, “Ma... Arin pergi sekolah dulu ya, Ma. Assalamuallaikum...”
Sayup- sayup kudengar mama menjawab salamku, dalam hati aku mengamini salam dari mama tersayangku.
Kuhidupkan sahabat setia perjalananku.
“Jangan rewel ya, Sayang.” bisikku pada Honda Mio yang sedang kunaiki.
Perjalanan yang terasa sangat panjang. Padahal hanya dari Teluk sampai Gor Satria Purwokerto, tetapi entah mengapa pagi ini terasa sangat jauh. Inilah akibat dari kesiangan.
Aku menghirup nafas dalam- dalam sebelum motor kesayanganku mulai memasuki Komplek Gerilya.
“Semoga ga telat, Amin.” kataku pada diri sendiri.
Saat melihat ke sekeliling sekolahku terlihat sepi, “Ah, semoga ga ada hukuman. Lagi ada acara, kan? Pesti ga ada yang mau catet siapa yang telat...” hiburku.
“ARIIIN!”
Sontak aku terlonjak, untung saja motorku ini mudah dikendalikan. Aku yakin, seharusnya aku jatuh tadi. Sempat terpikir olehku, bahwa aku dipanggil petugas kedisiplinan. Sayangnya (atau untungnya?), ternyata anggapanku tadi itu salah.
Aku segera berlari setelah memakirkan motorku, “FITHRIAAA, aku kaget banget lo... tadi aja aku hampir jatuh.”
“Eh? Wa... wa... maaf, Rin. Tapi... anu... aku si kenapa, ya?” jawab Fithria yang malah berbalik bertanya padaku.
“Itu lo... tadi pas kamu manggil aku... aku kirain Laksmi mau nyatet aku gara- gara telat.
“Aduh, maaf ya....”
Aku hanya menganggukkan kepalaku, “yang lain mana?”
“Beum dateng.” jawab Fithria seadanya, membuatku bingung.
Melihatku kebingungan, Fithria berkata, “kamu gasik banget si soalnya. Tapi Fiqoh udah dateng sama Ega.”
“Gasik?” aku tambah kebingungan.
“Iya lah, Rin. Sekarang baru jam setengah tujuh kurang lima.”
***
“Woaaah” tanpa sadar aku bersuara sambil menghela nafas, memecah keheningan di mobil Zulfa yang melaju kencang menuju desa yang berada di wilayah Cilacap.
“Kenapa, Rin?” tanya Icha yang berada di jok belakang.
“Engga, Cuma ingat kejadian tadi pagi.”
“Emang apa, Rin. Ceritain dong.” Ummu yang duduk di sebelah kiriku ikut bertanya.
Kudengar suara tertawa kecil dari seseorang yang duduk di sebelah kananku, “Apalah, Fit...”
“Lho, ada apa sih? Fit, emang kenapa sih?” tanya Annisa yang duduk di sebelah Icha rupanya ikut penasaran.
“Laaaaah... pokoknya itu.” kataku sambil tersenyum, hampir tertawa membayangkan kejadian memalukan tadi pagi.
“Yaaaaaah...” Icha, Annisa, dan Ummu menjawab dengan serempak.
***
“Waaaah, ternyata jauh juga.” pikirku.
Setelah selesai membantu memindahkan sembako dan pakaian pantas pakai dari mobil, aku segera mempersiapkan diri menjadi petugas kesehatan yang akan membantu terlaksananya program dokter gratis.
“Zal, kok dokterya belum dateng? Gimana nih, udah banyak yang ngantri.” tanyaku.
“Iya, kata Ustadz Ma’sum udah di telepon, kok. Mungkin lagi sibuk.” jawab Amrizal yang terlihat bingung.
“Aduh, kasihan banyak yang ngantri.”
“Iya..., ya sudah. Kamu ajak ngobrol aja dulu.”
“Lho, kok?”
“Iya, ajak ngobrol aja.” Amrizal pergi terburu- buru karena dipanggil leh Ustadz Heru.
“Yah, gimana yaa?” ujarku dalam hati.
Kemudian aku melihat seorang nenek mencari tempat duduk. Segera kuambil tempat duduk plastik warna hijau disebelahku. Kupersilahkan nenek itu duduk.
Nenek itu bertanya, “Nduk, wonten pundi doktere?”
“Nah, lho. Aku ga terlalu bisa bahasa jawa.” ujarku dalam hati.
“Dereng dhateng, Mbah.” jawabku sesopan mungkin.
Nenek itu langsung terlihat sedih. Kucoba membuatnya gembira, kutanyakan keadaan keluaganya, dan lain- lain. Nenek itu mulai terlihat senang, dia bercerita banyak hal, dari anak sampai cucu, dari pengalaman indah sampai buruk.
Walaupun aku agak sedikit terganggu dengan nenek itu yang bau pesing, tetapi aku senang bisa mengajaknya berdialog.
Setelah kurang lebih dua jam, akhirnya Dokter yang ditunggu- tunggu datang. Aku disibukkan oleh keramaian warga desa yang ingin berobat.
Walaupun rasa capai selalu menghampiriku, tetapi mengingat betapa senangnya warga yang menerima pengobatan gratis, entah mengapa rasanya senang sekali.
“Ariiin....!”
Aku tersentak, “Ada apa, Fit?”
“Tadi kamu hebat banget, lho. Aku salut.” kata Fithria.
“Makasih, tapi kenapa, ya?”
“Itu loh, tadi yang sama nenek yang di sana.” kata Fithria sambil menunjukkan jarinya ke arah pengeras suara.
“Iya, Rin. Kamu keren banget.” ujar Fiqoh dan Iis bersamaan.
Aku terseyum bangga. Aku teringat nasehat dari nenek itu, lakukanlah yang ingin kamu lakukan, gapailah apa yang kamu inginkan, dalam hidupmu tak ada kesempatan yang sama, kelolalah sebaik mungkin apa yang sudah kamu miliki saat ini.
***
“MAMAAAA..............!” teriakku sesampainya di rumah.
“Iya, Sayang.”
Kupeluk mama dengan sangat erat sambil teringat akan nasehat yang diberikan oleh nenek di acara PLM tadi.
Kemudian kuceritakan apa yang tadi kualami di desa tadi. Mama mendengarkannya dengan seksama. Sampai akhirnya aku ingat suatu hal.
“Eh, kok Mama ga ngasih tau sih?” tanyaku dengan memasang wajah cemberut.
“Kasih tau apa, Sayang?”
“Itu... tadi pagi... sebenarnya... aku bangun jam enam, kan?”
6
THE END
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kamis, Juli 21, 2011 1:51:00 AM
hy hy..
baguuuss..
Kamis, Juli 28, 2011 1:09:00 AM
uwwaaaah..... makasiii ya mba..... akuuu senengggg banget... makasiiiii